Rejection-sensitive dysphoria (RSD) pertama kali diperkenalkan oleh psikiater Dr. Bill Dodson, yang telah lama menangani pasien ADHD. Dr. Dodson menemukan bahwa penolakan kecil bisa memicu reaksi emosional yang ekstrem pada banyak pasien. Menurutnya, seseorang dengan RSD tidak hanya sensitif terhadap kritik, tetapi juga keras pada diri sendiri ketika merasa gagal. Perubahan suasana hati pada penderita RSD bisa terjadi dengan cepat, dari netral menjadi marah atau putus asa dalam hitungan detik.
Dr. Erick Messias, Ketua Departemen Psikiatri di Saint Louis University School of Medicine, mencatat bahwa sensitivitas terhadap penolakan umum pada berbagai gangguan suasana hati dan kepribadian. Namun, konsep RSD membantu menjelaskan aspek emosional yang khas pada penderita ADHD. Meskipun masih diperdebatkan di kalangan medis, banyak ahli sepakat bahwa istilah RSD bermanfaat untuk memahami bahwa reaksi berlebihan bukan hanya masalah sensitivitas, tetapi juga bagaimana otak penderita ADHD memproses emosi dengan lebih intens.
Saat ini, belum ada pengobatan medis khusus untuk RSD. Namun, terapi perilaku dan teknik pengelolaan emosi dapat membantu penderita RSD dalam mengenali serta mengontrol reaksinya. Hal ini menunjukkan pentingnya pemahaman dan penanganan yang tepat terhadap kondisi ini.






