Penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam smartphone memberikan manfaat yang signifikan bagi pengguna. AI dapat belajar dari kebiasaan pengguna, seperti menyesuaikan tingkat kecerahan layar atau memberikan saran balasan otomatis dalam aplikasi pesan. Selain itu, pengaturan baterai yang lebih efisien juga dapat disesuaikan berdasarkan pola penggunaan sehari-hari. Contohnya, smartphone lini Pixel dari Google menggunakan algoritma AI yang membuat hasil foto tetap tajam dan detail meskipun dengan spesifikasi menengah. Fitur Neural Engine dari Apple juga mendukung pemrosesan gambar tingkat lanjut dan Live Text. Asisten suara seperti Siri dan Google Assistant kini lebih cepat dan responsif, bahkan dapat melakukan pengolahan suara tanpa koneksi internet, meningkatkan kecepatan dan keamanan data.
Namun, di balik keunggulan tersebut, terdapat risiko terkait privasi pengguna. Banyak fitur AI beroperasi dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data pengguna, seperti foto pribadi, riwayat lokasi, dan perilaku pengguna dalam menggunakan aplikasi atau situs web. Semakin sering AI digunakan, semakin banyak data yang terkumpul dan diproses tanpa sepengetahuan pengguna. Pengguna mungkin tidak menyadari sejauh mana data mereka diakses oleh perangkat. Risiko privasi muncul karena fitur-fitur AI seperti yang dapat mengatur jadwal atau memberikan rekomendasi lokasi makan siang otomatis membutuhkan data sensitif pengguna seperti lokasi, preferensi makanan, dan pola kebiasaan harian.
Meskipun perusahaan menjamin keamanan data, kebocoran informasi atau penyalahgunaan data pribadi masih sering terjadi. Dalam konteks ini, pertanyaan muncul mengenai apakah kenyamanan yang diberikan oleh fitur AI sebanding dengan risiko pengawasan privasi yang timbul. Pada beberapa kasus, AI dapat menciptakan ekosistem digital yang memantau setiap keputusan pengguna, mulai dari hal-hal sepele seperti apa yang dibeli atau ditonton hingga informasi lebih sensitif seperti rencana perjalanan seseorang.