Profesor Habibah mengungkapkan data yang mengkhawatirkan mengenai prevalensi Retinopati Diabetik (RD) di Indonesia. Menurut data dari IDF, angka prevalensi RD mencapai 43,1 persen, dengan 26,1 persen di antaranya mengalami RD yang mengancam penglihatan. Di Sulawesi Selatan, angka prevalensi diabetes mencapai 7,4 persen, dan dari studi yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin dan Klinik Utama Mata JEC Orbita Makassar, 5,53 persen dari 271 pasien RD yang menjalani vitrektomi berusia di bawah 30 tahun. Hal ini menunjukkan ancaman serius RD terhadap generasi muda yang tengah berada dalam usia produktif.
Selain itu, Profesor Habibah juga menjelaskan bahwa tanpa upaya pencegahan dan deteksi dini yang optimal, jumlah penderita RD yang terus meningkat dapat mengurangi produktivitas tenaga kerja dan memberikan beban tambahan pada sistem kesehatan nasional. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya untuk berinvestasi dalam skrining, edukasi, dan pengobatan RD agar generasi usia kerja dapat tetap sehat dan produktif, sehingga potensi bonus demografi dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut Profesor Habibah, bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi di Indonesia antara tahun 2020 hingga 2030 merupakan kesempatan besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Namun, hal ini dapat terhambat jika kualitas kesehatan tidak dijaga dengan baik. Dia juga menegaskan bahwa indra penglihatan mampu menangkap 80 persen informasi, dengan sisanya dapat melalui indra pendengaran dan perasaan. Oleh karena itu, tingginya prevalensi RD sebagai komplikasi diabetes melitus menjadi ancaman serius terhadap kesehatan mata yang dapat menyebabkan kebutaan pada usia produktif.
Melalui keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 23 Februari 2025, Profesor Habibah Muhiddin memaparkan informasi penting ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan dan pengobatan RD guna menjaga kesehatan mata dan produktivitas generasi masa depan.