Perjanjian Renville yang diselenggarakan pada 17 Januari 1948 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Setelah persetujuan Linggarjati, diplomasi semakin intensif dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia, dengan dukungan dari India, Mesir, dan negara-negara Arab. Namun, Belanda tetap tidak mau melepaskan Indonesia, menyebabkan ketegangan antara kedua belah pihak semakin memanas. Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi militer besar-besaran yang hanya dapat dihentikan melalui intervensi PBB. Perundingan pun kembali dilakukan, dan Prime Minister Amir Sjarifudin memimpin delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville di kapal perang Renville.
Dewan Keamanan PBB memerintahkan gencatan senjata, yang akhirnya dilakukan oleh Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda. Pada 25 Agustus, resolusi dari Dewan Keamanan menyarankan penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda melalui Komisi Tiga Negara. Belanda kemudian membuat garis Van Mook, yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda, menyisakan hanya sepertiga Pulau Jawa dan sebagian Sumatra untuk Republik Indonesia. Perjanjian Renville sendiri merugikan Indonesia dengan mengakui wilayah yang terbatas, adanya garis demarkasi, dan penarikan mundur TNI dari daerah yang diduduki oleh Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Patung Soekarno di Yogyakarta menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.