Mentor-mantor saya dari generasi ’45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka pada tanah air tidak pernah pudar meskipun usianya; Kedua, Kepercayaan Diri; Ketiga, Intelek, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Humor yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan prajurit yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.
Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan pertempuran. Sebagai seorang perwira muda, saya beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan bimbingan dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Bangkitnya bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kebangkitan gerakan kemerdekaan atau bermain aman karena risikonya terlalu besar. Namun banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan sehingga akhirnya kita bisa bebas dari belenggu kolonialisme yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ’45. Mereka adalah ‘generasi pembebas’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi TNI dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya juga bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayai oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang bersamaan menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono langsung menemui beliau dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian pula, kedua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari sebuah basis Jepang. Namun, hampir semua kadet tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk komandannya dan kedua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah pulang dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama dengan gelar Doktor Ekonomi, yang diperolehnya dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata masuk ke negara untuk mendukung pasukan Indonesia. Beliau juga berperan dalam pencetakan uang kertas pertama Indonesia yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, beliau menjadi asisten pribadi bagi Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah mengunjungi Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek saya setiap hari Minggu. Kakek saya selalu mendirikan tenda militer pamannya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah perlengkapan yang selalu menyambut saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur pamannya, ransel, dan helm yang ia simpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu militer mereka diletakkan di ujung tempat tidur lainnya selalu berkilau. Dalam keheningan, kakek dan nenek saya menunjukkan betapa mereka menghargai dan menghormati pengorbanan terbesar yang diberikan oleh anak-anak mereka untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang di kemudian hari secara tidak sadar menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga generasi ’45. Saya tumbuh di lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan istilah saat itu. Generasi ’45 naik daun karena mereka tidak ingin dihina lebih rendah dari anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding tempat usaha banyak tempat. Bahkan pada tahun 1978, saat saya bertugas sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frase ini di kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Frase itu diukir di dinding marmer sebelah kolam renang. Namun saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa penasaran saya mendorong saya untuk memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut tersebut. Dan untuk kejutan saya, jelaslah hari, terbaca frasa Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan adalah bahwa kami, para pribumi, ditempatkan setelah anjing. Saat itu, Belanda menganggap anjing lebih pantas dihargai daripada kami, para penduduk asli tanah ini. Selain tumbuh di keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung untuk berinteraksi langsung dengan tokoh kunci generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulu pernah menjadi sekretarisnya. Suatu kali, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden saat saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sebentar menggendong saya. Ketika saya masih kecil, rumah kita sering dijadikan tempat para tamu. Kemudian, saya akan paham bahwa mereka adalah tokoh penting yang memainkan peran kunci dalam perang kemerdekaan dan masa-masa pembentukan negara. Demikian pula, ketika saya bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya berasal dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang saya temui. Tugas terakhirnya adalah sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII/Cenderawasih, dan pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga bertemu dengan Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika saya masih kadet. Posisi terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga kenal dengan Mayor Jenderal Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Tokoh lain yang saya kenal adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Kadet AKABRI. Selain itu, saya bertemu dengan Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai staf pada Komandan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah lembaga keamanan dalam negeri khusus dan berwewenang yang menjawab langsung kepada Presiden Soeharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Purn.), yang tugas terakhirnya adalah Pangkowilhan I dan IV. Saya juga bertemu dengan Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan posisi terakhir Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui dinas saya sebagai seorang perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Beliau kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan posisi terakhir sebagai Wakil Kepala…