Avast, sebuah perusahaan terkenal dengan software antivirusnya, ketahuan diam-diam menjual data browsing penggunanya. Kasus Avast ini tentu mengejutkan banyak orang, karena perusahaan selama ini dikenal sebagai perusahaan yang bergerak dalam pelindung privasi.
Akibat perbuatannya ini, Avast didenda sebesar USD 16.5 juta (sekitar Rp 257 miliar), seperti yang dilansir dari The Verge, Jumat (23/2/2024). Ini merupakan denda terbesar dalam sejarah pelanggaran privasi, dan menjadi pelajaran penting bagi pengguna agar berhati-hati dalam memilih software keamanan siber.
Dengan kejadian ini, banyak pengguna menjadi lebih sadar untuk memilih software yang benar-benar aman, terpercaya, dan tidak menjual data pengguna. Kasus ini muncul setelah Motherboard dan PCMag melakukan investigasi bersama terhadap praktik privasi data Avast pada tahun 2020. Tak lama setelah laporan ini mencuat, Avast langsung menutup cabang pengumpulan data mereka yang bernama Jumpshot.
Perusahaan mengelak dengan mengatakan bahwa mereka telah menghapus informasi identitas sebelum menjual data pengguna. Namun, FTC menemukan bahwa Avast “gagal menganonimkan informasi penjelajahan konsumen secara memadai”. Sebaliknya, perusahaan tersebut menjual data dengan pengidentifikasi unik untuk setiap browser, dan juga mengungkap situs web yang dikunjungi, stempel waktu, jenis perangkat dan browser yang digunakan, serta lokasi.
FTC juga mengklaim bahwa Avast telah menipu penggunanya dengan mengatakan bahwa software buatan mereka dapat menghilangkan pelacakan di web, padahal mereka sendiri melakukan pelacakan.