More

    Indonesia Masih Belum Aman dengan Krisis yang Sering Berulang di 2024

    Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengingatkan ketidakpastian global yang menekan ekonomi makin sering berulang saat ini. Menurut dia, jarak waktu antara terjadinya satu krisis ke krisis lainnya yang berdampak ke ekonomi makin merapat. Dia mengatakan bisa jadi krisis yang berdampak pada ekonomi itu masih berlanjut pada 2024 dan 2025. “Kalau kita lihat krisis jaraknya semakin lama semakin pendek. Bahkan diperkirakan 2024 itu pasti ada krisis, 2025 masih ada krisis,” kata dia dalam diskusi ‘Evaluasi dan Perspektif Ekonom Perempuan Indef Terhadap Perekonomian Nasional’, Kamis (28/12/2023).

    Dalam paparannya, Aviliani memperlihatkan daftar ketidakpastian global yang terjadi di dunia sejak 2008 hingga 2023. Data itu memperlihatkan pada 2008 terjadi krisis keuangan global dan minyak dunia. Krisis berikutnya baru terjadi 4 tahun kemudian, yaitu pada 2012 ketika Eropa dilanda krisis utang.

    Jarak antara krisis itu kemudian makin merapat. Dia mencontohkan krisis minyak dunia dan penyesuaian suku bunga The Fed terjadi pada 2018. Hanya butuh satu tahun untuk kembali terjadi krisis pada 2019, yaitu perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Lalu satu tahun berikutnya pada 2020, kembali terjadi krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Dan pada 2023, terjadi perang antara Hamas dengan Israel.

    Menurut Aviliani, pemerintah selaku regulator harus mempersiapkan diri atas ketidakpastian dunia yang semakin sering terjadi ini. Menurut dia, kecepatan dalam pengambilan kebijakan menjadi cara pemerintah untuk bisa menanggulangi dampak krisis itu kepada Indonesia.

    “Rule based ini seringkali merugikan diri kita sendiri. Kenapa? Karena kalau rule based itu proses pengambilan kebijakannya sangat panjang, padahal krisis itu terjadi makin lama makin pendek sehingga membutuhkan kebijakan yang lebih cepat,” katanya.

    Kebijakan yang diambil secara cepat, menurut Aviliani, menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian global ini. Karena itu, dia mengatakan fleksibilitas pembuatan aturan dan upaya untuk merampingkan aturan perlu dilakukan.

    “Oleh karena itu ke depan Undang-Undang harus semakin sedikit jumlahnya, Undang-undang sifatnya hanya yang besar-besar saja, tapi seharusnya nanti pada level kebijakan entah itu surat edaran atau kebijakan tingkat kementerian, jadi tidak selalu harus Undang-Undang,” kata dia.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 masih bisa terjaga di atas 5%. Sri Mulyani mengatakan, lembaga internasional yang memprediksikan bahwa tahun 2023 menjadi tahun yang cukup gelap bagi ekonomi sejumlah negara besar akibat kenaikan suku bunga tidak sepenuhnya terjadi. “Untuk Amerika, nampaknya muncul suatu harapan karena resiliensi dari perekonomiannya hingga akhir tahun ini. Sehingga paling tidak perekonomian dunia terbesar bisa bertahan dengan kenaikan suku bunga yang luar biasa,” ujar Menkeu.

    Menkeu mengingatkan agar Indonesia tetap waspada menghadapi berbagai dinamika yang terjadi di level global. Pemerintah juga berupaya untuk menjaga permintaan domestik karena konsumsi kelompok menengah ke bawah sangat besar. Untuk itu, pemerintah terus berusaha untuk menjaga inflasi dan kenaikan harga pangan.

    “Makanya kalau Bapak Presiden tadi addressing isu pangan itu menjadi sangat penting. Berbagai kebijakan kita kemarin, entah itu untuk pembelian rumah, pembelian mobil, ini semuanya ditujukan agar dari sisi supply side-nya itu properti dan konstruksi memiliki multiplier yang banyak. Dari sisi kelompok menengah yang kita melihat masih memiliki daya beli, mereka mulai dipacu untuk bisa tumbuh,” kata Sri Mulyani.

    Di sisi lain, pertumbuhan pajak yang tinggi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Namun demikian, Menkeu melihat hal ini menjadi critical point bagi Indonesia karena harus menjaga momentum pertumbuhan yang menjadi basis pajak.

    “Pertumbuhan dari penerimaan pajak kita tahun ini masih 7 persen, so its quite remarkable despite baseline-nya naiknya sangat tinggi. Ini akan menimbulkan tax ratio-nya membaik dan kemudian kita fokus belanja akan menjadi lebih baik, meskipun ini adalah tahun terakhir dari Presiden Jokowi. Ini memang mungkin critical point-nya adalah quality spending dan speed of spending,” jelasnya.

    Berita Terbaru

    Related articles