Perang saudara pecah di Myanmar yang menyebabkan negara mengalami kelangkaan bahan bakar minyak. Perang terjadi antara junta militer yang melakukan kudeta pada 2021 dan milisi bersenjata. Krisis semakin parah setelah Dewan Administrasi Negara (SAC) mengalami serangan di wilayah kilang gasnya. Serangan ini dilakukan oleh kekuatan perlawanan, termasuk kelompok perlawanan etnis di Negara Bagian Shan bagian Utara, yang berkoordinasi dengan koalisi anti-kudeta di seluruh negeri.
Menurut Bank Dunia, impor listrik bulanan dari China ke Myanmar meningkat lebih dari dua kali lipat tahun ini. Otoritas militer pasca kudeta juga terus mendorong diskusi interkoneksi jaringan listrik dengan Beijing dan Vientiane.
Kendati demikian, China atau Laos kemungkinan tidak akan mengekspor listrik ke Myanmar dalam skala besar sebelum cadangan gas di negara tersebut habis. Hal ini akan membuat SAC terpaksa mencari sumber energi dan pendapatan alternatif atau berisiko menghadapi krisis.
Surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah mengatakan kekurangan minyak dimulai pada Selasa karena tertundanya pengiriman minyak dari Pelabuhan Thilawa ke stasiun pengisian bahan bakar, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Mata uang lokal yang anjlok terhadap dolar juga mempengaruhi kemampuan importir untuk membayar pengiriman bahan bakar.
Perekonomian Myanmar telah merosot sejak kudeta, memicu protes pro-demokrasi yang ditindas oleh tindakan keras militer. Pasukan Pertahanan Rakyat bermunculan di seluruh negeri untuk melawan junta, dengan bentrokan yang sering terjadi di sebagian besar wilayah negara. Menurut Bank Dunia, PDB Myanmar diproyeksikan meningkat sebesar tiga persen hingga September 2023, masih sekitar 10% lebih rendah dibandingkan tahun 2019. Hambatan pasokan dan permintaan yang parah terus menghambat kegiatan ekonomi.