Pemerintah Indonesia memerlukan dana sekitar US$ 28,5 miliar atau setara dengan Rp 442,1 triliun (asumsi kurs Rp 15.513 per US$) per tahun hingga 2060 mendatang untuk beralih dari penggunaan batu bara ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan investasi secara keseluruhan mencapai US$ 1,1 triliun atau setara dengan Rp 17.068 triliun untuk transisi energi hingga 2060 mendatang.
“Investasi secara keseluruhan mencapai US$ 1,1 triliun atau US$ 28,5 miliar per tahun hingga 2060. Peningkatan nilai tambah mineral memiliki peranan penting untuk transisi energi untuk pembangkit solar, nuklir, kabel transmisi distribusi, dan baterai EV (kendaraan listrik) dan EBT,” ungkap Irwandy Arif.
Pendanaan tersebut rencananya akan dibantu oleh beberapa sumber pendanaan internasional, seperti pada program Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Program pendanaan tersebut antara lain penerapan carbon tax dan carbon trading, JETP, serta ETM.
Namun, saat ini Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi dalam negeri. Bahkan, hingga tahun 2030 Indonesia akan berada di puncak penggunaan batu bara. Kemudian, secara bertahap, penggunaan batu bara akan dikurangi dengan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara hingga tahun 2060.
“Saat ini ada beberapa kontrak batu bara sedang berjalan, sehingga pembangkit batu bara akan mencapai kondisi puncak pada tahun 2030 dan phase out dilakukan hingga tahun 2060. Pada tahun 2060 Indonesia tidak lagi menggunakan PLTU,” tandasnya.