Masyarakat Indonesia ramai-ramai menolak Revisi Undang-Undang Pilkada atau RUU Pilkada dengan berunjuk rasa di gedung DPR/MPR RI, Jakarta pada Kamis, 22 Agustus 2024. Tak sedikit publik figur ikut turun gunung menyuarakan aspirasinya agar UU tersebut tidak direvisi begitu saja. Di antara masyarakat dan publik figur yang aktif bersuara, ada pula yang enggan membahas isu demokrasi dan memilih diam. Hal ini pun memicu ramainya penggunaan istilah tone deaf di media sosial.
Mengutip Cambridge Dictionary, tone deaf adalah seseorang yang tuli nada, tidak mampu mengenali nada-nada berbeda atau menyanyikan lagu secara akurat. Selain itu, kamus daring tersebut juga memaparkan arti lain dari tone deaf, yakni: “Tidak memahami bagaimana perasaan orang terhadap sesuatu, atau apa yang dibutuhkan dalam situasi tertentu,” mengutip Cambridge Dictionary, Jumat (23/8/2024).
Biasanya orang yang terkena label tone deaf adalah publik figur atau sosok yang besar. Contohnya ketika suatu kasus besar terjadi dan memiliki dampak besar bagi masyarakat seharusnya tokoh tersebut berani menyuarakan kasus tersebut. Namun bukannya bersuara mereka justru tidak peka atau bahkan tidak peduli.
Salah satu figur publik yang ikut turun ke DPR untuk menyuarakan aspirasinya adalah Dino Agusto. Pria yang menyebut dirinya sebagai Dosen Fashyun (fesyen) menjelaskan pula soal tone deaf. “Kalau di-translate dalam bahasa Indonesia, tone deaf adalah nada (tone) dan deaf itu adalah tuli. Jadi, tuli menutup kuping dari nada atau situasi yang sedang bergulir di sekitar kita,” jelas Dino dalam unggahan Tiktok-nya.
Selain di depan Gedung DPR unjuk rasa juga dilakukan di depan Gedung MK yang hendak mengawal putusan MK. Massa gabungan terdiri dari forum Guru Besar, Akademisi Pro Demokrasi, masyarakat sipil, dan Aktivis 98.