Peneliti Senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, memandang langkah yang diambil oleh Prabowo sebagai suatu bentuk rekonsiliasi. Meskipun demikian, ia meragukan terwujudnya Klub Presiden RI.
“Agak sulit ya, melihat adanya egoisme politik dari presiden-presiden sebelumnya,” ungkap Usep kepada Liputan6.com, Kamis (2/5/2024).
Menurut Usep, cara berpikir yang dianut oleh Prabowo adalah untuk memprioritaskan rekonsiliasi, harmoni, dan tanpa adanya oposisi. Meskipun hal tersebut di satu sisi terlihat positif, namun di sisi lain kurang memberi semangat bagi oposisi.
“Menurut saya lebih baik dibiarkan dalam konteks membangun oposisi dan memberikan kritik terhadap pemerintah. Jadi, jangan ada upaya kooptasi semacam itu. Itu merupakan bentuk kooptasi untuk menghilangkan kritik dan semangat oposisi,” jelas Usep.
Usep menyatakan bahwa mungkin Prabowo ingin meniru Amerika Serikat yang memiliki Presidential Club. Namun, di sana setelah selesai masa jabatan, para mantan presiden tidak lagi memiliki jabatan politis.
“Sedangkan di Indonesia, mantan presiden memiliki peran politik yang penting dalam partainya (ketua umum, ketua majelis tinggi). Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di antara mereka, serta kebingungan antara agenda partai dan agenda negara,” tambah Usep.
“Jadi, menurut saya ini terlalu dipaksakan dalam situasi politik sekarang. Mendirikan Klub Presiden hanya akan memboroskan energi. Lebih baik mematuhi sistem kenegaraan yang sudah berlaku. Acara-acara yang sudah ada, menurut saya sudah cukup. Kita tahu bahwa dalam acara kenegaraan, sikap politik dapat terlihat. Banyak yang tidak hadir, jika tidak sejalan,” pungkas Usep.
