Stres di tempat kerja bisa disebabkan oleh berbagai hal. Budaya kerja yang tidak pasti dan kompetitif, serta ekspektasi tinggi terhadap pekerjaan, menjadi faktor utama. Saat ini, pekerjaan bukan hanya soal status dan penghasilan, tetapi juga mengenai legitimasi, tujuan, dan aktualisasi diri. Batasan antara pekerjaan dan waktu luang semakin kabur dengan adanya teknologi modern yang membuat kita selalu terhubung. Situasi ini membuat pikiran kita terus tertuju pada pekerjaan, yang berujung pada stres kronis.
Generasi Z dan milenial yang baru memasuki dunia kerja di tengah pandemi global dan krisis ekonomi mengalami tingkat stres dan burnout yang tinggi. Mereka khawatir akan inflasi, resesi, dan konflik geopolitik, sambil merasa kehilangan kontrol dan stabilitas dalam karir mereka.
Psikolog Debbie Sorensen menjelaskan bahwa generasi ini tumbuh dengan tekanan untuk mencapai tingkat prestasi tinggi, namun harus menghadapi kondisi kerja yang tidak pasti dan penuh keterbatasan. Kebijakan kembali ke kantor yang terus berubah, PHK massal, dan pembekuan rekrutmen semakin memperburuk situasi dan memicu kelelahan kerja.
Ketidakpastian dan minimnya kontrol atas karir mereka membuat Generasi Z dan milenial merasakan kecemasan dan kurang puas dalam pekerjaan. Burnout, yang ditandai dengan kelelahan dan kebuntuan dalam pekerjaan, tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada organisasi.
Menurut studi dari Asana yang dilaporkan oleh Forbes, karyawan yang mengalami burnout lebih rentan mengalami penurunan moral (36%), kurangnya partisipasi (30%), membuat lebih banyak kesalahan (27%), dan berkomunikasi buruk (25%). Risiko mereka untuk meninggalkan perusahaan juga meningkat (25%). Hal ini menunjukkan bahwa burnout dapat menyebabkan hilangnya karyawan yang kompeten, menurunnya produktivitas, dan kerusakan moral dalam organisasi.
Oleh karena itu, perlu bagi organisasi untuk mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah dan mengatasi burnout di antara karyawan mereka.